Monday, April 1, 2013

peron

Ingatan tentang hari itu tidak akan pernah terlupa:

Kamu dengan postur badanmu yang tegap dan tinggi, mengenakan jeans biru muda pudar dan kaus hitam berlengan pendek yang memperlihatkan otot otot badanmu, membuat beberapa orang menatap keberadaanku disampingmu. sebuah dari seribu penampilanmu yang menjadi favoritku.

Aku tepat berada disampingmu, tidak langsing ataupun gemuk dan hanya setinggi bahumu, mengenakan kaus longgar abu-abu pucat berlengan panjang, jilbab berwarna senada, kacamata selindris berbingkai broken white, serta celana jeans biru tua, dengan ransel cokelat yang merusak perpaduan warna pada setelan pakaianku waktu itu.

Tanganmu yang kokoh menggenggam jemariku erat dan mantap, sesekali merangkulkan lengan pada bahuku yang membuatku semakin terlihat kecil dan rapuh.

Mataku yang silindris tidak pernah sedetikpun mengalihkan pandang dari sosokmu, meskipun kamu selalu  mengatakan untuk memperhatikan jalanku, menangkap sebanyak mungkin potret sosokmu yang bisa kudapat untuk aku simpan dalam ingatan.

Dan pelukan itu, pelukan terakhir hingga saat ini sebelum aku berangkat ke kotaku, masih terrekam jelas, singkat dan nyaman. sekaligus terasa menyakitkan.

Lambaian tangan dan senyum yang dipaksakan, dibatasi gerbang peron semoga kamu tidak menyadari kehadiran air mataku saat itu.

Serta kekuatan yang terlalu aku paksakan untuk tidak menengok kebelakang lagi dan mendapati sosokmu, menahan untuk tidak berlari kembali dan menghambur dalam pelukanmu sekalilagi.

Hingga saat ini, aku terlalu merindumu. terlalu takut untuk mengatakannya dan akan memperburuk keadaan dalam jarak yang tidak masuk dalam logika matematika ataupun fisika.
Setidaknya, kita masih bisa bertahan, bukan?

0 comment:

Post a Comment